INDONESIA THE DIGITAL ENERGY OF ASIA
Pengertian Digital Economy lebih
menitikberatkan pada transaksi dan pasar yang terjadi di dunia internet.
Pengertian yang lebih luas dari sekedar transaksi atau pasar adalah New
Economy yang menurut PC Magazine adalah “The impact of
information technology on the economy“. Pengertiannya lebih menonjolkan
pada penerapan teknologi informasi pada bidang ekonomi.
New Economy lahir karena keberadaan IT dan globalisasi yang
menyebabkan terjadinya tingkat produktifitas dan pertumbuhan (perusahaan atau
negara) sangat tinggi. Istilah New Economy memang pertama kali
muncul di Amerika Serikat. Menurut studi Kauffman dan ITIF, New Economy diukur
dengan sejumlah indikator yang dikelompokkan dalam lima komponen yaitu
pekerjaan berbasis pengetahuan, globalisasi, dinamisme ekonomi, transformasi ke
digital economy, dan kapasitas inovasi teknologis.
Di Indonesia, transaksi digital semakin
berkembang. Penggunaan E-banking dalam transaksi ekonomi semakin berkembang
pesat. Hal ini membuktikan bahwa Indonesia juga ikut bersaing dalam dunia
ekonomi digital. Economist Intelligence Unit merilis urutan negara-negara
berdasarkan perkembangan ekonomi digital suatu negara. Indonesia menempati
urutan 65(enam puluh lima) dari 70(tujuh puluh) negara. Pengurutan ini
didasarkan beberapa segi yakni konektifitas, lingkungan bisnis, lingkungan
sosial dan budaya, lingkungan hukum, kebijakan dan visi pemerintah serta
konsumen. Indonesia sendiri memperoleh nilai 2.60 untuk konektivitas, 6.04
untuk lingkungan bisnis, 3.60 untuk lingkungan sosial dan budaya, 4.20 untuk
lingkungan hukum, 3.88 untuk kebijakan dan visi pemerintah, 2.55 untuk segi
konsumen. Secara keseluruhan Indonesia memperoleh nilai 3.60.
Dari segi konektivitas Indonesia berada di
urutan 145 dengan kecepatan download 1.33Mb/s. Nilai ini sangat jauh
dibandingkan dengan kecepatan internet di negara-negara lainnya. Bahkan untuk
regional Asia Tenggara, Indonesia masih tertinggal dari negara lainnya.
Dari segi lingkungan bisnis, dengan
berkembangnya penggunaan internet di sektor bisnis terjadi perubahan kultur
dalam berbisnis seperti hilang atau berkurangnya perantara atau broker dalam
bisnis sehingga mempersingkat saluran distribusi. Selain itu,
perusahaan-perusahaan di Indonesia juga banyak yang membangun infrastruktur
dengan dukungan teknologi informasi dan komunikasi sebagai alat bantu dalam
menghadapi persaingan dalam perekonomian digital.
Dari segi sosial dan budaya, masyarakat
Indonesia pada saat ini sudah semakin maju. Terbukti menurut survey dari situs
WorlBank.org, Indonesia mengalami peningkatan pengguna internet yang cukup
signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa penduduk Indonesia mulai mengikuti
perkembangan teknologi di dunia. Hal ini juga menjadi parameter pertumbuhan
perekonomian digital suatu negara.
Dari segi lingkungan hukum, dalam menjaga
kestabilan dan keamanan teknologi informasi dan komunikaasi, terutama internet
di Indonesia. Departemen Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia
membentuk Indonesia Security Incident Response Team on Internet and
Infrastructure (ID-SIRTII) yang bertujuan untuk mengimbangi dengan kesiapan
infrastruktur strategis untuk meminimalisir dampak negatif dari jaringan
internet di Indonesia. Yang bertugas melakukan sosialisasi dengan pihak terkait
tentang keamanan sistem informasi, melakukan pemantauan, pendeteksian,
peringatan dini terhadap ancaman terhadap jaringan telekomunikasi dari dalam
maupun luar negeri khususnya dalam pengamanan pemanfaatan jaringan,
membuat/menjalankan/mengembangkan serta statistik keamanan internet di
Indonesia.
Dari segi kebijakan dan visi pemerintah dalam
ekonomi digital Indonesia. Pemerintah saat ini masih berfokus pada kabijakan
ekonomi yang bersifat fiskal, sehingga kebijakan yang menguntungkan
entrepreneur yang berkecimpung di dunia e-business masih relatif kurang. Namun
dengan semakin majunya masyarakat Indonesia pemerintah tentu akan membuat
kebijakan untuk mengimbangi dan mengatur pelaksanaan perekonomian digital.
Dari segi konsumen, walaupun perkembangan
pengguna internet di Indonesia mulai meningkat. Namun, tidak menjamin banyaknya
jumlah konsumen dalam transaksi ekonomi digital. Hal ini disebabkan masyarakat
Indonesia lebih banyak menggunakan internet untuk bermain game ataupun
bersosialisasi dengan jejaring sosial. Selain itu masih kurangnya kepercayaan
konsumen dalam melakukan transaksi online.
Ekonomi digital memang memiliki dampak yang
signifikan terhadap pembangunan di Indonesia. Laporan dari Oxford Economics
(2016) menyebutkan bahwa keberadaan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK)
memberikan kontribusi signifikan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dan
jumlah lapangan kerja di Indonesia. Secara khusus, setiap 1 persen peningkatan
penetrasi mobile diproyeksikan menyumbang tambahan 640 juta US Dollar kepada
PDB Indonesia serta membuka 10.700 lapangan kerja baru pada tahun 2020.
Kontribusi sektor TIK makin terasa signifikan terhadap PDB Indonesia, mengingat
sektor TIK menyumbang 7.2 persen dari total PDB Indonesia. Walaupun angka ini
masih jauh dibandingkan sektor lain, namun sektor TIK mengalami pertumbuhan
sekitar 10 persen yang merupakan pertumbuhan terbesar dibandingkan sektor lain.
Pertumbuhan ini pun juga jauh lebih besar dibandingkan pertumbuhan rata-rata
PDB nasional yang hanya 5 persen. Maka tidak mengherankan jika pemerintah
Indonesia menaruh perhatian yang besar terhadap sektor ekonomi digital.
Lantas, apa saja tren pertumbuhan ekonomi
digital di Indonesia? Setidaknya terdapat 3 sektor yang sedang mengalami
pertumbuhan pesat, yaitu on-demand services, financial technology (fintech),
dan e-commerce. Di sektor on-demand services, Go-Jek menjadi pelopor utama
dengan layanan pemesanan ojek berbasis aplikasi. Meskipun sudah berdiri sejak
2010, namun Go-Jek sendiri baru merilis aplikasi pada tahun 2015, dan sejak
saat itu pertumbuhan layanan berbasis on-demand menjadi tumbuh pesat di
Indonesia. Mengusung slogan an ojek for every need, Go-Jek memfasilitasi hampir
semua layanan secara on-demand, mulai dari pengiriman barang, pemesanan
makanan, bahkan hingga hal-hal yang tak terpikirkan sebelumnya seperti jasa
cuci mobil dan bersih-bersih rumah.
Dampak yang ditimbulkan Go-Jek sangat
signifikan. Dampak positifnya sudah jelas, Go-Jek mendorong pertumbuhan
lapangan kerja baru yang menjanjikan yang dapat memberikan pemasukan lebih dibanding
industri konvensional dengan jam kerja fleksibel. Selain itu, Go-Jek juga
mencoba menjadi solusi atas absennya pemerintah dalam menyelesaikan masalah
kemacetan dengan menawarkan mobilitas yang tinggi. Namun, banyak pula dampak
disruptif yang ditimbulkan Go-Jek, terutama terhadap para ojek dan taksi
konvensional. Penghasilan yang menurun dan kompetisi yang dirasa tidak adil
menjadi pemicunya, sehingga banyak terjadi penolakan di daerah-daerah bahkan
sampai berujung anarkis. Pemerintah pun berusaha turun tangan dengan meregulasi
para pemain baru ini, namun regulasi yang ada terkesan terlalu berpihak kepada
para pemain lama. Menarik untuk diikuti bagaimana dinamika kedepannya,
mengingat tren layanan seperti ini masih akan tumbuh pesat dalam beberapa tahun
kedepan.
Industri Fintech juga menjadi salah satu
primadona yang sedang berkembang pesat di Indonesia. Laporan dari DailySocial
mencatat bahwa dalam dua tahun terakhir pertumbuhan fintech start-up mencapai
78%, dan sebagian besar fokus di sektor pembayaran. Hal ini wajar mengingat
fakta bahwa saat ini hanya 36% dari orang dewasa di Indonesia yang memiliki
rekening di bank. Padahal, teknologi finansial adalah enabler penting bagi
kesuksesan ekonomi digital. Selain itu, dampak dari fintech sendiri sangat
terasa dalam hal mempromosikan layanan finansial yang inklusif. Dengan adanya
fintech, masyarakat dapat melakukan pembayaran lewat pulsa telepon ataupun
lewat minimarket secara mudah dibanding harus melakukan transfer lewat bank.
Menyadari pertumbuhan industri fintech ini, pemerintah lewat Bank Indonesia dan
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bersikap sangat supportif dengan menyusun
peraturan mengenai peer-to-peer Fintech lending serta membuka Bank Indonesia
Fintech Office (BI FTO) untuk memantau segala dinamika pertumbuhan industri
fintech di Indonesia.
E-commerce juga menjadi industri yang mengalami
pertumbuhan signifikan di Indonesia. Hal ini didasari fakta bahwa 8 juta
masyarakat Indonesia sudah berbelanja secara online dan diprediksi terus
meningkat. Perilaku konsumtif dan digital dari masyarakat Indonesia, ditambah
meningkatnya jangkauan pasar menjadi pendorong utama. Tren ini pula yang
membuat banyak pemain yang selama ini berjualan secara offline turut membuka
toko online. Meski begitu, sektor e-commerce di Indonesia baru berkontribusi
sebesar 0.8% dari total penjualan ritel, jauh dibawah Tiongkok (11%) dan
Amerika Serikat (8%). Untuk itu, sesuai visi ekonomi digital 2020 yang
dicanangkan Presiden Joko Widodo, Indonesia mengeluarkan sejumlah kebijakan untuk
mendukung ekosistem e-commerce di Indonesia, seperti Paket Kebijakan Ekonomi 14
tentang peta jalan e-commerce, 1 juta domain name gratis, digitalisasi 50 juta
UKM, dan gerakan 1000 start-up digital.
Penutup
Melihat potensi yang besar di
Indonesia, Visi Ekonomi Digital Indonesia 2020 bukanlah sebuah mimpi yang tak
mungkin dicapai. Namun, ada sejumlah tantangan yang harus diselesaikan bersama,
tidak hanya oleh Pemerintah Indonesia tapi juga oleh berbagai pihak terkait.
Pertama, mengurangi kesenjangan digital di Indonesia. Pemerintah harus
memastikan bagaimana masyarakat Indonesia dimanapun mereka berada bisa
mendapatkan akses yang sama kepada layanan telekomunikasi, mengingat
infrastruktur adalah syarat utama kesuksesan ekonomi digital. Hal ini memang menjadi
salah satu perhatian Pemerintah lewat peluncuran rencana pitalebar Indonesia
2014-2019 dan penyelesaian pembangunan Palapa Ring di kawasan Indonesia Timur.
Rencananya, proyek ini akan selesai pada 2019 sehingga diharapkan akses ke
jaringan telekomunikasi akan semakin baik.
Isu kedua adalah terkait SDM.
Walaupun start-up digital mengalami pertumbuhan yang masif, namun
kebanyakan dari mereka mengalami kesulitan dalam hal menemukan talenta yang
berkualitas dan sesuai kebutuhan industri. Akibatnya, sering terjadi talent
war antar start-up dimana seorang talenta berkualitas menjadi
rebutan berbagai start-up. Salah satu yang menjadi akar permasalahannya
adalah sektor pendidikan tinggi Indonesia yang belum dapat menghasilkan SDM
yang sesuai kebutuhan industri. Mengingat pentingnya SDM sebagai kunci
peningkatan daya saing start-up Indonesia di kancah internasional,
kolaborasi sektor bisnis dan akademik perlu ditingkatkan kembali sehingga tidak
terjadi mismatch antara kedua sektor ini.
Terakhir,
regulasi selalu menjadi isu utama jika kita bicara tentang start-up dan disruptive
innovation. Faktanya, regulasi memang selalu tertinggal dibandingkan
dinamika pertumbuhan teknologi yang sangat pesat. Namun, yang perlu dipastikan
adalah bagaimana Pemerintah bersama pihak-pihak terkait dapat menyusun regulasi
yang adaptif dan tidak mematikan inovasi digital. Pemerintah saat ini telah
menunjukkan tren yang positif dalam hal penyusunan regulasi, namun di internal
Pemerintah sendiri terdapat perbedaan perspektif dalam menanggapi inovasi
digital. Contoh yang terlihat adalah bagaimana para pemain baru di sektor on-demand
transportation terkesan mendapatkan regulasi yang tidak suportif dengan
menyamakan mereka dengan para pemain lama. Namun di sisi lain sektor Fintech
dan e-commerce mendapat perhatian dan dukungan yang sangat banyak.
Belum lagi isu-isu lain seperti perlindungan data konsumen, keamanan transaksi
dan isu-isu lain yang masuk dalam ranah cyber security. Lebih jauh,
keberadaan sebuah badan khusus yang fokus mengkoordinasikan isu-isu terkait
ekonomi digital menjadi sebuah keharusan, mengingat selama ini isu ekonomi
digital diurus secara "keroyokan" oleh berbagai instansi pemerintah.
Bila semua tantangan ini bisa ditangani secara serius, dan semua potensi yang
ada bisa dimaksimakan, bukan tidak mungkin kita akan melihat Indonesia berjaya
sebagai kekuatan ekonomi digital di ASEAN bahkan di dunia. Semoga visi besar
ini bisa terwujud.
#Ecodigi